Susi Susanty, Maria Sundah, Linda Christanty, Ester Indahyani Jusuf, Jane Luyke Oey, Sias Mawarni Saputra, Milana Yo, dan Meylani Yo bercerita tentang kisah hidup mereka, yang masih terkait dengan ke-Tionghoaan-nya. Meski sudah banyak tulisan dalam format lain tentang etnis Tionghoa, persepsi masyarakat tampak belum meluas melewati gambaran yang diproyeksi stereotip. Mereka menganggap semua etnis Tionghoa kaya, mementingkan duit, eksklusif, tidak mempertimbangkan orang lain, mempekerjakan orang lain seperti budak, egoistis, dan tidak punya rasa kesetiaan pada negara tempat tinggal mereka di luar Cina.ÿSusi Susanty contohnya. Dia dianggap 'duta besar' Indonesia dalam hal olahraga, namun pada 1998, saat dia berada di Hong Kong untuk pertandingan Uber Cup, keluarganya di Indonesia malah menjadi salah satu sasaran kekerasan dalam kerusuhan 11–14 Mei 1998. Keluarganya dijadikan sasaran karena mereka keturunan Tionghoa, dan rasa nasionalisme mereka dipertanyakan.ÿBagaimana Susi dan tujuh tokoh lain menjalani hidup dengan segala stereotip yang telah melekat kuat? Bagaimana mereka melihat atau melindungi diri dari sejumlah peristiwa kekerasan anti-Tionghoa dalam skala berbeda-beda, termasuk kekerasan pasca 30 September 1965 dan kerusuhan 11–14 Mei 1998? Buku ini menggambar hidup delapan tokoh tadi, sekaligus menentang stereotip yang sudah melekat erat pada etnis Tionghoa. [Mizan, Mizan Publika, China, Inspiratif, Indonesia]