Hujan Salju di Tanah Victor Hugo

Guru SD zaman itu ada di posisi rantai makanan paling bawah di dalam ekosistem birokrasi.

Kami memuja nasi. Nasi menjadi kultus. Kami gantungkan hidup kami kepadanya. Belum makan nasi, maka belum makan. Manja sekali kami ini. Manja sekali Pak Selamat. Manja sekali aku. Tak ada nasi tak hidup. Huh!

Kata-kata Pak RT ibarat rudal nuklir interkontinental Rusia menghantam New York. Menimbulkan awan jamur di pikiranku. Sial! Teorema Indra tidak berlaku. Tidak bisa lagi kugunakan. Jika ditinjau dari konteksnya, aku tidak sedang buang hadas, tapi sedang bertamu. Ah! Mana mungkin aku cebok di hadapan Bu RT dan Pak RT. Mana mungkin aku cebok di ruang tamu. Kalau pun harus, aku pasti akan minta izin ke toilet sambil membawa air teh itu. Tapi mengapa harus pakai air teh manis?

Soalnya, saat musim hujan tiba, air tidak menetes melainkan menggempur bak air terjun Niagara. Pasalnya lubangnya bukan satu, tapi hampir di setiap ruangan. Berbagai macam wadah seperti ember, baskom, gayung, loyang, toples, piring, gelas, bahkan vas bunga pun menjadi tumbal untuk menampung air hujan, tapi tetap saja selalu kurang. Buku-buku dan baju-baju di kamar basah kuyup, air hujan mengguyur tak pernah cukup.

Normalnya, anak bungsu adalah anak emas, tapi aku malah sebaliknya. Bahkan orang-orang sering mengolok-olok, bahwa katanya aku adalah anak swasta. Sebab, pemerintah hanya akan memberikan tunjangan sampai anak ke-dua saja, sebagai akibat dari adanya program KB. Ah!

Nanti, kalian harus ke luar negeri ya. Ke Jepang, Eropa atau Amerika yang banyak saljunya. Dari dulu Ibu kepengen banget lihat hujan salju sambil sekolah kek atau sambil kerja.

Mas Panji Sosrokartono,