ÿMata berkunang-kunang, keringat bercucuran, lutut gemetaran, telinga mendenging-denging… Siksaan lapar ini memang tak asing, tetapi masih saja berhasil mengusikku. Sungguh, aku butuh tidur, sejenak pun bolehlah.ÿ Supaya lapar ini terlupakan…ÿ
Kehidupan mendidik Dahlan kecil dengan keras. Baginya, rasa perih karena lapar adalah sahabat baik yang enggan pergi. Luka di kakinya menjadi bukti perjuangan dalam menjalani hidup. Dia harus berjalan puluhan kilometer untuk bersekolah tanpa alas kaki. Sepulang sekolah banyak pekerjaan yang harus dilakoninya demi sesuap tiwul, mulai dariÿnguli nyeset, nguli nandurÿsampai melatih tim voli anak-anak juragan tebu.
Dan di usia mudanya, Dahlan sudah banyak merasakan kehilangan. Buku catatan hariannya pun dipenuhi curahan kegalauan hati yang selalu dia alami. Setiap kali terpuruk seringkali dia berkata pada dirinya sendiri,ÿhidup, bagi orang miskin sepertiku, harus dijalani apa adanya.ÿDidikan keras sang Ayah dan kakak-kakak tercintanya serta senyum sang Ibu, selalu bisa membuatnya bertahan dan terus berjuang dalam hidup. Selain itu, di atas segala luka dan kesedihan yang dialaminya dia punya dua cita-cita besar yang membuatnya semakin bekerja keras: sepatu dan sepeda.
[Mizan, NouraBooks, Qanita, Novel, Memoar, Indonesia, Dahlan Iskan, Pengusaha]