Aku berlari ke luar rumah, mengambil sepeda dan mengayuhnya secepat kubisa. Emak pasti bisa melihat air mataku. Air mata yang mewakili setiap keruntuhan keyakinanku. Aku tahu Emak tidak bisa melakukan semuanya sendirian, menjadi penopang keluarga yang tengah berantakan.
Aku hanya ingin belajar di pesantren, tapi juga tak ingin menyakiti hati Emak. Aku ingin berilmu seperti Ali dan para sahabat Nabi lainnya, tapi aku juga ingin berbakti seperti bakti Fatimah kepada Ayahanda Nabi Muhammad Saw.
Apakah Allah akan memaafkan karena pilihanku pergi dari rumah untuk belajar agama? Atau, justru rida Allah tidak akan menuntunku karena aku bersikeras meninggalkan Emak?